Jazz Gunung Bromo 2024 – Keubitbit

Malam itu di ketinggian ±2.000 mdpl, saya berdiri di atas panggung Jazz Gunung Bromo, membiarkan kabut merayap masuk ke selimut dingin udara. Tapi begitu Peumulia Jamee dimulai, dingin menghilang digantikan denting saksofon dan ritme rapa’i yang menyalakan semangat. Kami datang sehari sebelumnya untuk adaptasi suhu dan akustik, memastikan setiap detail mulai dari jaket tebal sampai sinyal lampu panggung siap mendukung momen magis ini. Saat Hembala diperdengarkan, kabut dan lampu bagaikan kolaborator yang membingkai setiap nada. Momen paling emosional datang saat Sep Sep Hansep terdengar. Penonton mengangkat termos, bertepuk tangan dan ikut merelakan napas mereka menguap di udara dingin. Guitarcam saya menangkap momen itu, gigitan gigil di tangan, tapi musik tetap mengalir penuh gairah. Jazz Gunung Bromo bukan sekadar pertunjukan. Ini adalah ritual di mana kami, penonton dan alam berkumpul dalam satu suasana mistis. Musik kami bukan hanya menghibur, tapi juga mengundang refleksi: bahwa ruang tolak antara budaya, manusia, dan alam bisa dipersempit lewat nada dan ketukan.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *